Hari Kamis 6 Juni 2013, adalah hari yang spesial di mana kami mendapatkan undangan untuk menghadiri acara sakral. Ritual adat yang dihadiri oleh Raja-Raja Nusantara dan juga pejabat daerah.
Acara tersebut diberi nama Upacara Adat Ngayu-ayu, yang diselenggarakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Sebuah acara adat yang ternyata diadakan setiap 3 tahun sekali, dan sudah turun temurun sejak lebih dari 600 tahun yang lalu.
Ritual AyuNgayu merupakan bentuk rasa syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas diberikan kelimpahan hasil bumi, terhindar dari bencana, dan masyarakat diharapkan terhindar dari penyakit-penyakit yang konon di zaman dahulu sering dialami oleh masyarakat setempat.
Selain itu Ritual Ngayu Ayu merupakan bentuk syukur atas tumbuh suburnya padi merah (pade abang) yang dimana tipikal tanaman ini tidak tumbuh di sembarang tempat.
Prosesi acara ritual Ngayu Ayu ini berlangsung selama dua hari pada tanggal 5 – 6 Juni 2013. Di hari pertama, pengumpulan air dari tujuh sumber mata air yang mengalir dan dimanfaatkan oleh Masyarakat Sembalun.
Air tersebut didiamkan selama satu malam di rumah-rumah ketua adat. Keesokan harinya dikumpulkan menjadi satu di Makam Adat yang terletak di sebelah barat Lapangan Sembalun Bumbung.
Adapun tujuan dari pengumpulan air dari tujuh sumber mata air ini merupakan simbol atas rasa syukur masyarakat Sembalun atas berlimpahnya hasil bumi di tanah Sembalun.
Hari keduadimulai dengan acara penyembelihan kerbauyang dilakukan oleh ketua-ketua adat yang selanjutnya kepala kerbau tersebut ditanam sebagai pasak bumi (pengaman) Desa Sembalun dari bala bencana.
Kemudian dagingnya dimasak oleh ibu-ibu setempat untuk disajikan dan disantap bersama-sama yang dalam istilah Bahasa Sasaknya adalag “Begibung”. Setelah itu, diadakan Ritual Mafakin, dimana ritual ini para Ketua Adat membacakan bacaan-bacaan selama prosesi penurunan bibit padi merah (pade abang) dari lembang sampai proses penyemaian. Yang selanjutnya diadakan perang topat.
Setelah prosesi di atas, masyarakat mengitari makam adat sebanyak sembilan kali putaran masing-masing ketua adat atau yang diwakilkan oleh anaknya menggendong air dari tujuh sumber mata air sebelum dikumpulkan menjadi satu di dalam makam.
Photo & Artikel oleh Junan MEDIA UNRAM.